Aceh Kaya Ikan, Miskin Infrastruktur

SUMBERDAYA kelautan, terutaka ikan di Aceh begitu kaya. Sesuai klafisikasi pemerintah, panjang garis pantai 1.660 km, namum sampai saat ini hanya mempunyai satu pelabuhan perikanan jenis Tipe C di Lampulo Banda Aceh. Bandingkan dengan negara tetangga Thailand hanya memiliki 2600 km panjang garis pantai, namun memiliki 52 unit pelabuhan perikanan atau setara dengan satu pelabuhan tiap 56 km garis pantai. Sehingga negara itu merupakan pengekspor ikan terbesar.

Jepang yang memiliki panjang garis pantai 34.000 km Jepang memiliki 3000 unit pelabuhan perikanan (1:11). Inilah yang membuat Aceh, terutama nelayannya merupakan masyarakat miskin, padahal daerah ini dulu dikenal pernah jaya di lautan. Hasil Survey BPS Aceh tahun 2008 menunjukkan angka kemiskinan Provinsi Aceh mencapai 23,5 persen. Angka tertinggi secara nasional sebesar 15,4 persen. Belum termasuk calon pengangguran yang akan booming pasca rehabilitasi dan rekonstruksi seperti yang dikhawatirkan Said Achmad K Rafii (Serambi, 18 Juli 2009).

Sekarang harapan rakyat Aceh untuk keluar dari belenggu kemiskinan ini sepenuhnya digantungkan kepada pemerintahan Aceh yang kini di bawah gubernur Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar. Kita tak bisa berharap pada BKRA, badan yang dibentuk pasca BRR Aceh Nias. Sebab lembaga ini hanya formalitas karena tidak diberi kewenangan untuk mengelola dan mengimplementasikan program sebagaimana BRR NAD-Nias dahulunya. Sesuai Pergub No.47 Tahun 2009 diberi mandat untuk menyiapkan Master Plan Percepatan Pembangunan Aceh. Jika kita teliti, kantong-kantong kemiskinan itu umumnya berada di wilayah pesisir. Mereka adalah nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya kelautan dan perikanan. Namun nyatanya, pembangunan sektor perikanan di Provinsi Aceh, terlihat terabaikan. Selama ini perikanan belum mendapat perhatian serius untuk dikelola secara optimal dan terpadu.

Rendahnya perhatian dan pelayanan pemerintah Aceh pada sektor perikanan, dapat dilihat dari indikator anggaran yang disediakan, terutama membangun infrastruktur perikanan. Pelabuhan ikan misal, selama ini satu-satunya hanya mengandalkan Pelabuhan Lampulo. Sehingga pelabuhan yang ditolir hanya menampung kapal-kapal perikanan yang berukuran di bawah 30 GT, harus dimanfaatkan untuk mendaratkan kapal-kapal sampai berukuran 60 GT atau lebih. Belum lagi kondisi pelabuhan sangat tak layak untuk tipe C, akibanya banyak kapal-kapal ikan berlabuh sepanjang sungai Krueng Aceh.

Tidak tersedianya infrastruktur perikanan, maka selama ini Aceh harus melakukan eksporkomoditi perikanannya melalui Medan Diperkirakan sekitar 60 persen ekspor perikanan berasal dari perairan Aceh diekpor melalui pelabuhan di Medan. Maka bisa dibayangkan berapa besar pendapatan daerah yang seharusnya menjadi sumber pemasukan pemerintahan Aceh namun mengalir ke Sumatera Utara. Pemerintahan Aceh perlu melakukan langkah dan kebijakan strategis. Di antaranya penyediaan infrastuktur perikanan, seperti adanya pelabuhan samudera Lampulo. Ada tiga alasan logis untuk merealisasikan mega proyek ini. Pertama, wilayah perairan Aceh merupakan pintu gerbang jalur perdagangan maritim internasional yang menghubungkan perairan Indonesia dengan negara-negara seperti India, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Timur Tengah.

Kedua, wilayah Samudera Indonesia dengan perairan ZEE-nya yang berada dalam territorial Aceh belum mengalami eksploitasi berlebihan, sehingga jika dikembangkan dalam kerangka pengembangan wilayah maka akan menjadi basis kekuatan ekonomi baru yang mampu menyaingi Singapura, Thailand dan Malaysia sehingga berimplikasi pada pemberlakuan AFTA dan WTO. Ketiga, secara politik, pengembangan perikanan tangkap ini diharapkan akan mampu memberikan dampak politis terhadap penguatan integritas nasional.

Jika menilik sekilas PPP Lampulo merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Sejalan dengan implementasi otonomi daerah maka pada tahun 2000 gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh mengajukan usul kepada Menteri Kelautan dan Perikanan dengan berbagai pertimbangan yang mendasar agar PPP Lampulo dilimpahkan kepada daerah. Akhirnya pada tahun 2003 Pengelolaan PPP Lampulo diserahkan kepada daerah. Kemudian Pada tahun 2003 tersebut PPP Lampulo telah direncanakan untuk ditingkatkan statusnya menjadi pelabuhan perikanan nusantara.

Studi kelayakan PPP Lampula telah dilakukan. Namun apa hendak di kata Allah menghendaki lain. Sebelum niat itu terwujud, smong pada tanggal 26 Desember 2004 menyapu pelabuhan itu. Dan ketika pejabat Gubernur Mustafa Abubakar, telah membuka kran untuk merealisasikannya, dengan meningkatkan status PPP Lampulo menjadi sebuah pelabuhan perikanan yang representatif dan bertaraf internasional yang mempunyai fasilitas sekelas dengan pelabuhan perikanan samudera. Hal ini telah dibicarakan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numeri. Kebijakan ini disambut baik dan didukung oleh BRR NAD – Nias pada waktu itu. Pada tahun 2006, BRR NAD – Nias telah membebaskan lahan untuk PPS Lampulo seluas 52 hektar.

Sekarang tinggal harapan adanya langkah konkrit dari Departemen Perikanan dan Kelautan RI serta Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Aceh dan Pemko Banda Aceh untuk melanjutkannya. Kita bermimpi, pelabuhan Perikanan Lampulo akan mempunyai fasilitas lengkap seperti fasilitas utama (dermaga, kolam pelabuhan dan breakwater, jaringan jalan dan drainase), fasilitas fungsional (fasilitas produksi berupa Tempat Pelelangan Ikan, fasilitas perbekalan berupa pabrik es, tangki BBM, installasi air bersih, gudang, kios/toserba), balai pertemuan nelayan, installasi listrik dan jaringan komunikasi) dan Fasilitas Penunjang (fasilitas penunjang antara lain perumahan syahbandar, penginapan nelayan, tempat ibadah, poliklinik, pertokoan, pasar dan unit pengolahan limbah).

Dalam lahan 52 hektar itu juga perlu dibangun sebuah Sentral Pengolahan Ikan (SPI) yang akan melayani pengusaha-pengusaha kecil yang bergerak di bidang pengolahan ikan. SPI ini diharapkan akan menjadi pintu pemasaran produk-produk ikan olahan dari seluruh Aceh baik untuk tujuan lokal maupun tujuan ekspor. Seperti diberitakan Serambi, bahwa adanya seorang investor dari Malaysia yang mulai melirik untuk berinvestasi di bidang industri perikanan di Banda Aceh. Kita berhadap itu jadi kenyataan.*

Sumber:  Serambi Indonesia

Tentang bangzabar
InDah-nya Berbagi

2 Responses to Aceh Kaya Ikan, Miskin Infrastruktur

  1. sofie says:

    satu hal lagi…kita tak selamanya bisa tergantung dari pasokan ikan laut dari alam..budidaya ikan laut bisa menjadi salah satu sektor andalan ke depan,skaligus membuka peluang kerja bagi msyrakat aceh…smoga hal diatas tidak hnya mnjadi mimpi bagi rakyat aceh..manfaatkan dan jaga laut kita..

Tinggalkan Balasan ke bangzabar Batalkan balasan